Kamis, 12 Maret 2020

Coretan untuk sahabat.

  Oleh : Ana Latifatus Sania

Bersama pagi yang penuh makna
Di sambut matahari dengan sejuta senyum terindahnya
Menjuntang biru langit di atas sana
Kicauan burung bernyanyi seolah  ada bahagia dalam jiwanya
Dan lagi,  Ada Do'a yang sedang terijabah.  Allohu Yarkhaam

Ku usap layar handphone, Ada satu pesan masuk.
Hatiku terhenyak. penuh kemerdekaan yang sulit ku lukiskan.
Tak sadar, sebutir air mataku jatuh. Kemudian,  di susul butiran lainnya yang tergambar dengan jelas.
Saksi bisuku pagi ini .  Bahwasannya, aku  ‘teramat bahagia’.

Kupandangi satu gambar yang berhasil masuk galeriku via whatsapp , mulutku mendadak  bisu.
Berasa beku, dan tak bisa berkata apa-apa.
Alhamdulillah Ala Kulli Khalin

  Setelah sekian lama   melalui pahit manisnya perjuangan, mempertahankan, ahirnya ‘Halal’.
Meski aku tak bisa hadir di tengah lautan tamu undangan,
 Doa dan harapanku masih terbungkus rapi.
Semoga, keberkahan tak pernah alpa menyelimutimu, Amiin.

Ku tulis dengan sejuta haru, rindu, dan gado-gado lainnya.
Sahabat. bukan, mungkin sudah seperti saudara sendiri.
Sampai aku sering lupa, kita bukan sedarah

Kedekatan sejak hari pertama diriku di lingkungan yang begitu asing.
 dan dialah orang pertama yang mencoba mendekatiku.
Mencoba memahamkan bahasa, dan adat  jawa timur yang masih sulit ku pahami.

Blitar, 03 Agustus 2016

Ku susuri jalanan jerambah yang di penuhi oleh penikmat Qur’an.
Ku tatap lekat, semua sibuk dengan tanggung jawab masing2. muroja’ah.
Tp, satu pemandangan yang membuatku tertarik menghampirinya.
Perempuan berbalut mukena sedang menikmati lamunannya.
 Ia sandarkan tubuhnya pada tembok, dan terlihat  belum serepot teman yang lainnya.

‘’baru ya mb,?’’. tanyaku,  lalu ia menatapku dengan ulasan senyum manis.
Kulitnya putih bersih, dan matanya memperlihatkan bahwa ia adalah  gadis periang.
“iya. Mbnya juga?’’. tanyanya balik.
Ku anggukan kepala. Lalu, terjadi obrolan panjang.
Tentang perkenalan, hobbi, biografi dll.

Dengan sambutannya yang hangat, hatiku langsung menyatu dengan kota yang sudah lama ku impikan.
Hadirnya, membuat hari-hari ku semakin penuh tawa.
Makan pagi, siang, malam selalu jadi satu.

Ketika ibunya mengirim makanan, tak lupa beliau sematkan 2 sendok.
Tujuannya agar tanganku bisa nimbrung di rantang penuh menu itu.

Jarak  rumah kami dengan atap pesantren memang unik.
Dari rumahku ke Ma’had  bisa memakan waktu 9 jam perjalanan.
Sedang,  dari rumahnya ke Ma’had hanya butuh waktu 5 menit.
Beda RT saja, ternyata.

Kita lalui semua itu 2 th penuh. Marahan?
Sering kita terjadi dalam berdebatan yang berlarut.  Sampai  3 bulan penuh pun.
Tapi alhamdulillah, dia mengajarkanku banyak hal.
Tentang memaafkan, tentang berbagi, tentang rasa peduli.

Saat ku rindukan kota itu, bisa jadi ia adalah orang pertama yang ingin ku temui.
Keluarganya yang tak pernah menganggapku orang lain, membuatku terukir dalam maghlimah cinta.

Terimakasih yang tiada kira.
Untuk hatimu, dalam memberiku banyak hal.
Terutama dalam kelapangan hatimu menerima segala sikapku.

Balas budi yang seperti apa, tak kan bisa sebanding dengan apa yang kau lakukan selama ini.
Aku hanya bisa menDo’akan, eh.
Lagi-lagi hanya bisa mentrasfer Do’a. hihi

Lautan maafku,
Di hari bahagiamu aku tak bisa menemani .
Ada banyak alasan dan tanggung jawab yang tak bisa ku tinggal, dan kau paham itu.
Semoga, segera dapat kesempatan untuk mengunjungi semua saudara
Di kota sukarno itu.

Untukmu,
Saksi mata atas perjalanan hidupku selama  di kota orang.
Saksi mata  dalam segala kisah..
Kisah jatuh bangun dalam memperjuangkan huruf hijaiyah.
Kisah cinta yang mungkin aku sudah tak mampu mengingatnya. Intermezo

Dan pada ahirnya, Allah tak akan menukar jodoh orang.
Termasuk kisahmu yang beberapa kali di balut keresahan.
Bisa di percaya, kita tidak akan pernah bisa menembus dinding takdir Tuhan?

Selamat untuk ustadz Aditya Dharma.
Yang  berhasil mempersunting perempuan manis nan solihah, Azizatul Ummah.
Titip dia, bimbing dia di jalan RidhoNya.

Selamat untuk kalian Berdua, sepasang Hafidz-Hafidzah.
Senantiasa Tuhan permudah dalam setiap urusan.
Dalam nelateni AlQur’an,
Dalam membentuk kelurga Qur’ani.
Doa pangestune, saya keluberan Barokah di dalamnya.

Dari hati yang rindu ini.

Magelang, 12 maret 2020.

















Minggu, 08 Maret 2020

Sebuah kisah Inspiratif pada zaman Syekh Abdul Qadir Al-Jailani.
Ada seseorang yang memiliki niat jahat hendak menfitnah Syekh Abdul Qadir..
Kemudian ia berusaha mencari cara untuk menfitnahnya.

Maka ia melubangi dinding rumah Syekh Abdul Qadir untuk mengintipnya.
Pada sat itu, ia melihat Syekh Abdul Qadir lagi makan bersama muridnya..
Syekh Abdul Qadir suka makan ayam..
Dan tiap kali ia makan ayam dan makanan yang lain, ia hanya memakan separuh.
Separuhnya lagi ia berikan kepada muridnya.

Hal itu tampaknya menjadi celah yang dapat dijadikan bahan fitnah oleh orang busuk tersebut.
Maka orang tersebut mendatangi bapak si murid.
Apakah bapak orang tua dari si fulan (perumpamaan nama saja)?
Sang bapak membenarkannya.

Anak bapak apa benar belajar dengan Syekh Abdul Qadir?
Sang bapak pun kembali membenarkannya
Bapak tahu, anak bapak diperlakukan oleh Syekh Abdul Qadir Jailani seperti seorang hamba sahaya dan kucing saja.

Syekh Abdul Qadir selalu memberikan makan sisa pada anak bapak.
Sang bapak kemudian mendatangi rumah Syekh Abdul Qadir..
Wahai tuan syekh, saya menitipkan anak saya kepada tuan syekh bukan untuk jadi pembantu atau dilakukan seperti kucing.

Saya antar kepada tuan syekh, supaya ia menjadi alim ulama’.
Syekh Abdul Qadir hanya jawab ringkas saja.
Kalau begitu ambillah anakmu.
Maka si bapak tadi mengambil anaknya untuk pulang.

Pada saat keluar dari rumah syekh dan hendak pulang, bapak tersebut kemudian menanyakan anaknya sejumlah hal tentang ilmu hukum syariat.
Ternyata seluruh permasalahannya dijawab dengan benar oleh sang anak.
Maka bapak tadi berubah pikiran.
Ia tidak jadi membawanya pulang dan mengembalikan sang anak kepada tuan Syekh Abdul Qadir..

Wahai tuan syekh, terimalah anak saya untuk belajar dengan tuan kembali…
Tuan didiklah anak saya!
Ternyata anak saya bukan seorang pembantu dan juga diperlakukan seperti kucing…
Saya melihat ilmu anak saya begitu luar biasa ketika bersamamu..
Maka jawab tuan Syekh Abdul Qadir..

Bukannya aku tak mau menerimanya kembali..
Tetapi Allah sudah menutup pintu hatinya untuk menerima ilmu..
Allah sudah menutup futuhnya untuk mendapat ilmu..
Karena ayahnya tak memiliki adab kepada guru..

Maka anak lah yang menjadi korban
Dari kisah itu, kita bisa mendapatkan pelajaran tentang adab dalam menuntut ilmu.
Para anak dan orang tua atau siapa pun itu, harus menjaga adab kepada guru.

Sungguh pentingnya adab pada kehidupan sehari-hari kita.
Dari cerita tersebut, seorang ayah yang tak beradab kepada guru saja bisa membuat anaknya menjadi korban.

Bagaimana andaikata si anak sendiri yang tak memiliki adab? Apalagi sampai memaki dan mengaibkan gurunya..
Ingatlah pesan dari para ulama: Satu perasangka buruk saja kepada gurumu, maka Allah haramkan seluruh keberkatan yang ada pada gurumu kepadamu.
Semoga Allah selalu menjaga akhlak dan adab kita terhadap sesame, apalagi terhadap guru yang mengajarkan ilmu kepada kita… Aamiin!